Sponsors

Pages

Tampilkan postingan dengan label Good Story. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Good Story. Tampilkan semua postingan

Rabu, 11 April 2012

Cerita di Hari Panen Padi


panen tiba petani desa memetik harapan
bocah-bocah berlari lincah di pematang sawah
padi menguning lambai menjuntai ramai dituai
riuh berlagu lesung bertalu irama merdu
senja datang mereka pulang membawa harapan
………….

MENDENGAR awal syair lagu yang ditulis Iwan Fals itu mungkin kita akan berimajinasi ke suasana alam pedesaan yang damai dan ramai tatkala panen padi tiba. Tergambar terang dan jelas, padi menguning keemasan menghampar sepanjang mata memandang, melambai-lambai diterpa angin seolah mengisyaratkan harapan akan peningkatan kesejahteraan. Ditambah lagi riuhnya lesung bertalu berirama merdu yang mengiringi roda perekonomian desa yang masih semarak berputar. Anak-anak desa pun tak ketinggalan ikut berpesta dengan berlari-lari lincah di pematang menikmati keriangan orang tuanya, menuai harapan.

Itu dulu, sekarang sepertinya tinggal kenangan keriangan dalam sebuah dendang. Jarang kita menemui keriangan anak-anak yang menyertai pesta panen yang dilakukan orang tuanya.

Krisis yang dialami para petani padi, terutama yang berlahan sempit dan buruh tani, sepertinya akan terus membelit dan mencekik leher-leher papa kaum tani. Setelah dihantam badai kelangkaan pupuk, untuk menjual hasil panennya sendiri dalam bentuk gabah kering giling saja petani kesulitan memperoleh harga yang pantas, padahal harga beras di pasar cukup tinggi. Dalam teori ekonomi, hal seperti inilah yang dinamakan rente atau margin, dimana ada margin yang njomplang antara menjual gabah dan beras.

Persoalannya bukan saja pada besarnya rente atau margin itu, tetapi siapa pihak-pihak yang diuntungkan atau yang mengeruk keuntungan itu, sehingga petani yang seharusnya menerima keuntungan lebih banyak karena resiko usaha taninya juga lebih besar, namun realitasnya hanya menerima keuntungan yang relatif lebih kecil.

Petani memang selalu mendapat kesulitan dan menjadi korban akibat kelemahannya. Kesulitan para petani padi yang sering terjadi diawali dari sulitnya membeli bibit dan pupuk untuk memulai menanam padi. Memang mereka telah lama sangat tergantung atau sengaja dibuat tergantung pada perusahaan-perusahaan besar penyedia bibit unggul yang tak bisa diproduksi sendiri oleh petani terutama petani-petani kecil. Dan kalaupun tersedia, penanaman dengan bibit unggul memerlukan input lain yang harus disediakan semacam pupuk dan obat-obatan yang juga diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar itu, jika tidak maka bibit unggulpun tak akan bisa tumbuh sesuai dengan keunggulannya. Melihat ini semua, lagi-lagi yang diuntungkan bukan petani tapi lebih besar keuntungannya disedot oleh perusahaan-perusahaan besar.

Kemudian soal permodalan, pada umumnya para petani mencari modal menanam padi dengan bunga yang sangat tinggi. Contohnya, meminjam satu juta rupiah selama beberapa bulan, dan mengembalikan satu juta lima ratus rupiah setelah panen atau terkadang juga dengan mengganti hutangnya dengan sekian persen hasil panen yang setara dengan nilai uang yang harus dikembalikan.

Harga pupuk juga tidak terjangkau oleh para petani meskipun telah ditentukan standar harga jualnya oleh pemerintah. Beberapa waktu lalu, setidaknya di Jombang, satu saknya sampai menjangkau Rp. 100.000,00 yang seharusnya tak melebihi Rp. 52.500,00. Kenyataan ini mengakibatkan para petani padi semakin kesulitan manakala hasil panennya dihargai sangat rendah dengan berbagai alasan klasik khas tengkulak, semisal kadar air yang terlalu tinggi.

Di sisi lain, biaya input-input produksi pertanian lainnya seperti pestisida, pupuk dan ongkos tenaga kerja, meningkat berlipat-lipat. Peningkatan biaya ini karena salah satunya dipicu oleh keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, tarif dasar listrik dan lain-lain, yang kesemuanya berdampak pada harga input pertanian.

Nah, dari sini seharusnya dalam hitung-hitungan ekonomi, harga dasar pembelian gabah memang harus naik. Sebab, harga input-input pertanian secara real kenaikannya lebih cepat dibandingkan kenaikan harga output atau hasil pertanian. Jika harga gabah tidak dinaikkan, pendapatan dan kesejahteraan petani akan makin merosot. Padahal, petani termasuk golongan mayoritas di negeri ini.

Berbeda dengan petani di negara maju yang masih disubsidi, termasuk subsidi ekspor. Sementara petani kita, jangankan mendapat subsidi ekspor, petani malah “dilaparkan” dulu sebelum diadu dengan petani-petani makmur dari negeri seberang dengan produk-produk impornya. Hasilnya pasti, kematian petani dengan pelan-pelan telah menanti.

Tidak bisa diingkari bahwa tingkat kesejahteraan petani kita justru lebih banyak tergantung pada disparitas harga gabah di tingkat petani dengan harga eceran beras di tingkat konsumen. Semakin besar perbedaan harga tersebut, maka semakin besar pula potensi penurunan kesejahteraan petani, karena sebagian besar marjin pemasaran beras hanya dinikmati oleh pedagang. Marjin keuntungan dalam proses pemasaran dan distribusi beras nampak tersebar di antara para pelaku ekonomi perberasan seperti petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan grosir, walaupun pedagang cenderung memperoleh balas jasa yang lebih baik dibanding petani. Semakin besar disparitas itu, semakin besar kemungkinan petani tidak menikmati keuntungan atas hasil usaha taninya.

Dan, kalau saja petani kita masih mampu berdendang seperti di awal tulisan ini, tentu bukan duka nestapa yang di selalu dapat. Tetapi rasanya, seperti kelanjutan dendang Iwan Fals itu:

……………..
pesta pora hama di lumbung nyanyikan tralala
bale reot bambu rapuh menyambut tubuh
penat raga sarat peluh luruh
mata belum sempat pejam terbayang cemas
kaum hama semakin mengganas

Entah apa pemahaman kita tentang dendang itu, yang jelas saat ini tak sedikit petani yang nasibnya meringis teriris-iris di negeri agraris!

Jumat, 16 Maret 2012

Kisah Cinta Seorang Jutawan yang Luar Biasa

Eko Pratomo Suyatno, siapa yang tidak kenal lelaki bersahaja ini? Namanya sering muncul di koran, televisi, di buku-buku investasi dan keuangan. Dialah salah seorang dibalik kemajuan industri reksadana di Indonesia dan juga seorang pemimpin dari sebuah perusahaan investasi reksadana besar di negeri ini.

Dalam posisinya seperti sekarang ini, boleh jadi kita beranggapan bahwa pria ini pasti super sibuk dengan segudang jadwal padat. Tapi dalam note ini saya tidak akan menyoroti kesuksesan beliau sebagai eksekutif. Namun ada sisi kesehariannya yang luar biasa!!!!

Usianya sudah tidak muda lagi, 60 tahun. Orang bilang sudah senja bahkan sudah mendekati malam, tapi Pak Suyatno masih bersemangat merawat istrinya yang sedang sakit. Mereka menikah sudah lebih 32 tahun. Dikaruniai 4 orang anak.

Dari isinilah awal cobaan itu menerpa, saat istrinya melahirkan anak yang ke empat. tiba-tiba kakinya lumpuh dan tidak bisa digerakkan. Hal itu terjadi selama 2 tahun, menginjak tahun ke tiga seluruh tubuhnya menjadi lemah bahkan terasa tidak bertulang, lidahnyapun sudah tidak bisa digerakkan lagi.

Setiap hari sebelum berangkat kerja Pak Suyatno sendirian memandikan, membersihkan kotoran, menyuapi dan mengangkat istrinya ke tempat tidur. Dia letakkan istrinya di depan TV agar istrinya tidak merasa kesepian. Walau istrinya sudah tidak dapat bicara tapi selalu terlihat senyum. Untunglah tempat berkantor Pak Suyatno tidak terlalu jauh dari kediamannya, sehingga siang hari dapat pulang untuk menyuapi istrinya makan siang.
Sorenya adalah jadwal memandikan istrinya, mengganti pakaian dan selepas maghrib dia temani istrinya nonton televisi sambil menceritakan apa saja yg dia alami seharian. Walaupun istrinya hanya bisa menanggapi lewat tatapan matanya, namun begitu bagi Pak Suyatno sudah cukup menyenangkan. Bahkan terkadang diselingi dengan menggoda istrinya setiap berangkat tidur. Rutinitas ini dilakukan Pak Suyatno lebih kurang 25 tahun. Dengan penuh kesabaran dia merawat istrinya bahkan sambil membesarkan ke 4 buah hati mereka. Sekarang anak- anak mereka sudah dewasa, tinggal si bungsu yg masih kuliah.

Pada suatu hari…saat seluruh anaknya berkumpul di rumah menjenguk ibunya-- karena setelah anak-anak mereka menikah dan tinggal bersama keluarga masing-masing- - Pak Suyatno memutuskan dirinyalah yang merawat ibu mereka karena yang dia inginkan hanya satu 'agar semua anaknya dapat berhasil'.

Dengan kalimat yang cukup hati-hati, anak yang sulung berkata:
“Pak kami ingin sekali merawat ibu, semenjak kami kecil melihat bapak merawat ibu tidak ada sedikitpun keluhan keluar dari bibir bapak……bahkan bapak tidak ijinkan kami menjaga ibu." Sambil air mata si sulung berlinang.

"Sudah keempat kalinya kami mengijinkan bapak menikah lagi,
kami rasa ibupun akan mengijinkannya, kapan bapak menikmati masa tua bapak,
dengan berkorban seperti ini, kami sudah tidak tega melihat bapak,
kami janji akan merawat ibu sebaik-baik secara bergantian”.
Si Sulung melanjutkan permohonannya.

”Anak-anakku. ..Jikalau perkawinan dan hidup di dunia ini hanya untuk nafsu, mungkin bapak akan menikah lagi, tapi ketahuilah dengan adanya ibu kalian di sampingku itu sudah lebih dari cukup,dia telah melahirkan kalian….*sejenak kerongkongannya tersekat*… kalian yang selalu kurindukan hadir di dunia ini dengan penuh cinta yang tidak satupun dapat dihargai dengan apapun. Coba kalian tanya ibumu apakah dia menginginkan keadaanya seperti ini ?? Kalian menginginkan bapak bahagia, apakah bathin bapak bisa bahagia meninggalkan ibumu dengan keadaanya seperti sekarang, kalian menginginkan bapak yang masih diberi Tuhan kesehatan dirawat oleh orang lain, bagaimana dengan ibumu yang masih sakit." Pak Suyatno menjawab hal yang sama sekali tidak diduga anak-anaknya.

Sejenak meledaklah tangis anak-anak Pak Suyatno, merekapun melihat butiran-butiran kecil jatuh di pelupuk mata Ibu Suyatno..dengan pilu ditatapnya mata suami yang sangat dicintainya itu.

Sampailah akhirnya Pak Suyatno diundang oleh salah satu stasiun TV swasta untuk menjadi nara sumber dan merekapun mengajukan pertanyaan kepada Pak Suyatno kenapa mampu bertahan selama 25 tahun merawat Istrinya yg sudah tidak bisa apa-apa....disaat itulah meledak tangisnya dengan tamu yang hadir di studio kebanyakan kaum perempuanpun tidak sanggup menahan haru.

Disitulah Pak Suyatno bercerita : “Jika manusia di dunia ini mengagungkan sebuah cinta dalam perkimpoiannya, tetapi tidak mau memberi waktu, tenaga, pikiran, perhatian itu adalah kesia-siaan. Saya memilih istri saya menjadi pendamping hidup saya, dan sewaktu dia sehat diapun dengan sabar merawat saya, mencintai saya dengan hati dan bathinnya bukan dengan mata, dan dia memberi saya 4 anak yang lucu-lucu..Sekarang saat dia sakit karena berkorban untuk cinta kami bersama… dan itu merupakan ujian bagi saya, apakah saya dapat memegang komitmen untuk mencintainya apa adanya. Sehatpun belum tentu saya mencari penggantinya apalagi dia sakit...” Sambil menangis.

"Setiap malam saya bersujud dan menangis dan saya hanya dapat bercerita kepada Allah di atas sajadah..dan saya yakin hanya kepada Allah saya percaya untuk menyimpan dan mendengar rahasia saya...BAHWA CINTA SAYA KEPADA ISTRI, SAYA SERAHKAN SEPENUHNYA KEPADA ALLAH".

Sumber : http://kolom-inspirasi.blogspot.com