bocah-bocah berlari lincah di pematang sawah
padi menguning lambai menjuntai ramai dituai
riuh berlagu lesung bertalu irama merdu
senja datang mereka pulang membawa harapan
………….
MENDENGAR
awal syair lagu yang ditulis Iwan Fals itu mungkin kita akan
berimajinasi ke suasana alam pedesaan yang damai dan ramai tatkala panen
padi tiba. Tergambar terang dan jelas, padi menguning keemasan
menghampar sepanjang mata memandang, melambai-lambai diterpa angin
seolah mengisyaratkan harapan akan peningkatan kesejahteraan. Ditambah
lagi riuhnya lesung bertalu berirama merdu yang mengiringi roda
perekonomian desa yang masih semarak berputar. Anak-anak desa pun tak
ketinggalan ikut berpesta dengan berlari-lari lincah di pematang
menikmati keriangan orang tuanya, menuai harapan.
Itu dulu, sekarang sepertinya tinggal kenangan keriangan dalam sebuah dendang. Jarang kita menemui keriangan anak-anak yang menyertai pesta panen yang dilakukan orang tuanya.
Krisis yang dialami para petani padi, terutama yang berlahan sempit dan buruh tani, sepertinya akan terus membelit dan mencekik leher-leher papa kaum tani. Setelah dihantam badai kelangkaan pupuk, untuk menjual hasil panennya sendiri dalam bentuk gabah kering giling saja petani kesulitan memperoleh harga yang pantas, padahal harga beras di pasar cukup tinggi. Dalam teori ekonomi, hal seperti inilah yang dinamakan rente atau margin, dimana ada margin yang njomplang antara menjual gabah dan beras.
Persoalannya bukan saja pada besarnya rente atau margin itu, tetapi siapa pihak-pihak yang diuntungkan atau yang mengeruk keuntungan itu, sehingga petani yang seharusnya menerima keuntungan lebih banyak karena resiko usaha taninya juga lebih besar, namun realitasnya hanya menerima keuntungan yang relatif lebih kecil.
Petani memang selalu mendapat kesulitan dan menjadi korban akibat kelemahannya. Kesulitan para petani padi yang sering terjadi diawali dari sulitnya membeli bibit dan pupuk untuk memulai menanam padi. Memang mereka telah lama sangat tergantung atau sengaja dibuat tergantung pada perusahaan-perusahaan besar penyedia bibit unggul yang tak bisa diproduksi sendiri oleh petani terutama petani-petani kecil. Dan kalaupun tersedia, penanaman dengan bibit unggul memerlukan input lain yang harus disediakan semacam pupuk dan obat-obatan yang juga diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar itu, jika tidak maka bibit unggulpun tak akan bisa tumbuh sesuai dengan keunggulannya. Melihat ini semua, lagi-lagi yang diuntungkan bukan petani tapi lebih besar keuntungannya disedot oleh perusahaan-perusahaan besar.
Kemudian soal permodalan, pada umumnya para petani mencari modal menanam padi dengan bunga yang sangat tinggi. Contohnya, meminjam satu juta rupiah selama beberapa bulan, dan mengembalikan satu juta lima ratus rupiah setelah panen atau terkadang juga dengan mengganti hutangnya dengan sekian persen hasil panen yang setara dengan nilai uang yang harus dikembalikan.
Harga pupuk juga tidak terjangkau oleh para petani meskipun telah ditentukan standar harga jualnya oleh pemerintah. Beberapa waktu lalu, setidaknya di Jombang, satu saknya sampai menjangkau Rp. 100.000,00 yang seharusnya tak melebihi Rp. 52.500,00. Kenyataan ini mengakibatkan para petani padi semakin kesulitan manakala hasil panennya dihargai sangat rendah dengan berbagai alasan klasik khas tengkulak, semisal kadar air yang terlalu tinggi.
Di sisi lain, biaya input-input produksi pertanian lainnya seperti pestisida, pupuk dan ongkos tenaga kerja, meningkat berlipat-lipat. Peningkatan biaya ini karena salah satunya dipicu oleh keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, tarif dasar listrik dan lain-lain, yang kesemuanya berdampak pada harga input pertanian.
Nah, dari sini seharusnya dalam hitung-hitungan ekonomi, harga dasar pembelian gabah memang harus naik. Sebab, harga input-input pertanian secara real kenaikannya lebih cepat dibandingkan kenaikan harga output atau hasil pertanian. Jika harga gabah tidak dinaikkan, pendapatan dan kesejahteraan petani akan makin merosot. Padahal, petani termasuk golongan mayoritas di negeri ini.
Berbeda dengan petani di negara maju yang masih disubsidi, termasuk subsidi ekspor. Sementara petani kita, jangankan mendapat subsidi ekspor, petani malah “dilaparkan” dulu sebelum diadu dengan petani-petani makmur dari negeri seberang dengan produk-produk impornya. Hasilnya pasti, kematian petani dengan pelan-pelan telah menanti.
Tidak bisa diingkari bahwa tingkat kesejahteraan petani kita justru lebih banyak tergantung pada disparitas harga gabah di tingkat petani dengan harga eceran beras di tingkat konsumen. Semakin besar perbedaan harga tersebut, maka semakin besar pula potensi penurunan kesejahteraan petani, karena sebagian besar marjin pemasaran beras hanya dinikmati oleh pedagang. Marjin keuntungan dalam proses pemasaran dan distribusi beras nampak tersebar di antara para pelaku ekonomi perberasan seperti petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan grosir, walaupun pedagang cenderung memperoleh balas jasa yang lebih baik dibanding petani. Semakin besar disparitas itu, semakin besar kemungkinan petani tidak menikmati keuntungan atas hasil usaha taninya.
Dan, kalau saja petani kita masih mampu berdendang seperti di awal tulisan ini, tentu bukan duka nestapa yang di selalu dapat. Tetapi rasanya, seperti kelanjutan dendang Iwan Fals itu:
Itu dulu, sekarang sepertinya tinggal kenangan keriangan dalam sebuah dendang. Jarang kita menemui keriangan anak-anak yang menyertai pesta panen yang dilakukan orang tuanya.
Krisis yang dialami para petani padi, terutama yang berlahan sempit dan buruh tani, sepertinya akan terus membelit dan mencekik leher-leher papa kaum tani. Setelah dihantam badai kelangkaan pupuk, untuk menjual hasil panennya sendiri dalam bentuk gabah kering giling saja petani kesulitan memperoleh harga yang pantas, padahal harga beras di pasar cukup tinggi. Dalam teori ekonomi, hal seperti inilah yang dinamakan rente atau margin, dimana ada margin yang njomplang antara menjual gabah dan beras.
Persoalannya bukan saja pada besarnya rente atau margin itu, tetapi siapa pihak-pihak yang diuntungkan atau yang mengeruk keuntungan itu, sehingga petani yang seharusnya menerima keuntungan lebih banyak karena resiko usaha taninya juga lebih besar, namun realitasnya hanya menerima keuntungan yang relatif lebih kecil.
Petani memang selalu mendapat kesulitan dan menjadi korban akibat kelemahannya. Kesulitan para petani padi yang sering terjadi diawali dari sulitnya membeli bibit dan pupuk untuk memulai menanam padi. Memang mereka telah lama sangat tergantung atau sengaja dibuat tergantung pada perusahaan-perusahaan besar penyedia bibit unggul yang tak bisa diproduksi sendiri oleh petani terutama petani-petani kecil. Dan kalaupun tersedia, penanaman dengan bibit unggul memerlukan input lain yang harus disediakan semacam pupuk dan obat-obatan yang juga diproduksi oleh perusahaan-perusahaan besar itu, jika tidak maka bibit unggulpun tak akan bisa tumbuh sesuai dengan keunggulannya. Melihat ini semua, lagi-lagi yang diuntungkan bukan petani tapi lebih besar keuntungannya disedot oleh perusahaan-perusahaan besar.
Kemudian soal permodalan, pada umumnya para petani mencari modal menanam padi dengan bunga yang sangat tinggi. Contohnya, meminjam satu juta rupiah selama beberapa bulan, dan mengembalikan satu juta lima ratus rupiah setelah panen atau terkadang juga dengan mengganti hutangnya dengan sekian persen hasil panen yang setara dengan nilai uang yang harus dikembalikan.
Harga pupuk juga tidak terjangkau oleh para petani meskipun telah ditentukan standar harga jualnya oleh pemerintah. Beberapa waktu lalu, setidaknya di Jombang, satu saknya sampai menjangkau Rp. 100.000,00 yang seharusnya tak melebihi Rp. 52.500,00. Kenyataan ini mengakibatkan para petani padi semakin kesulitan manakala hasil panennya dihargai sangat rendah dengan berbagai alasan klasik khas tengkulak, semisal kadar air yang terlalu tinggi.
Di sisi lain, biaya input-input produksi pertanian lainnya seperti pestisida, pupuk dan ongkos tenaga kerja, meningkat berlipat-lipat. Peningkatan biaya ini karena salah satunya dipicu oleh keputusan pemerintah untuk mengurangi subsidi BBM, tarif dasar listrik dan lain-lain, yang kesemuanya berdampak pada harga input pertanian.
Nah, dari sini seharusnya dalam hitung-hitungan ekonomi, harga dasar pembelian gabah memang harus naik. Sebab, harga input-input pertanian secara real kenaikannya lebih cepat dibandingkan kenaikan harga output atau hasil pertanian. Jika harga gabah tidak dinaikkan, pendapatan dan kesejahteraan petani akan makin merosot. Padahal, petani termasuk golongan mayoritas di negeri ini.
Berbeda dengan petani di negara maju yang masih disubsidi, termasuk subsidi ekspor. Sementara petani kita, jangankan mendapat subsidi ekspor, petani malah “dilaparkan” dulu sebelum diadu dengan petani-petani makmur dari negeri seberang dengan produk-produk impornya. Hasilnya pasti, kematian petani dengan pelan-pelan telah menanti.
Tidak bisa diingkari bahwa tingkat kesejahteraan petani kita justru lebih banyak tergantung pada disparitas harga gabah di tingkat petani dengan harga eceran beras di tingkat konsumen. Semakin besar perbedaan harga tersebut, maka semakin besar pula potensi penurunan kesejahteraan petani, karena sebagian besar marjin pemasaran beras hanya dinikmati oleh pedagang. Marjin keuntungan dalam proses pemasaran dan distribusi beras nampak tersebar di antara para pelaku ekonomi perberasan seperti petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan grosir, walaupun pedagang cenderung memperoleh balas jasa yang lebih baik dibanding petani. Semakin besar disparitas itu, semakin besar kemungkinan petani tidak menikmati keuntungan atas hasil usaha taninya.
Dan, kalau saja petani kita masih mampu berdendang seperti di awal tulisan ini, tentu bukan duka nestapa yang di selalu dapat. Tetapi rasanya, seperti kelanjutan dendang Iwan Fals itu:
……………..
pesta pora hama di lumbung nyanyikan tralala
bale reot bambu rapuh menyambut tubuh
penat raga sarat peluh luruh
mata belum sempat pejam terbayang cemas
kaum hama semakin mengganas
pesta pora hama di lumbung nyanyikan tralala
bale reot bambu rapuh menyambut tubuh
penat raga sarat peluh luruh
mata belum sempat pejam terbayang cemas
kaum hama semakin mengganas
Entah
apa pemahaman kita tentang dendang itu, yang jelas saat ini tak sedikit
petani yang nasibnya meringis teriris-iris di negeri agraris!
1 komentar:
Pelit amat mas, gak boleh copas.
Posting Komentar
Anda boleh Kopi Paste. asal sertakan link back ke blog ini Makasih
ANDA WAJIB KOMENTAR :D !!
jika anda Tidak Punya Akun Apapun,, Anda Bisa Menggunakan ANONYMOUS