Penyakit Metafora dan Moral Panic
“Berhasil tidaknya usaha menghadapi sebuah penyakit tidak hanya
dipengaruhi oleh persoalan-persoalan yang secara langsung berkaitan
dengan dunia kedokteran. Faktor yang tidak kalah penting adalah persepsi
masyarakat tentang penyakit tersebut. Tidak jarang sebuah penyakit
dikaitkan dengan imaje atau stereotype tertentu yang belum sesuai dengan
kenyataan, namun beredar secara luas di masyarakat.,” demikian
disampaikan oleh DR Katrin Bandel, Direktur ANJANI, saat
mempresentasikan temuan-temuan sementara dalam penelitian yang dilakukan
bersama A Anzieb, yang telah berlangsung selama enam bulan.
Mengacu kepada pemikiran Susan Sontag bahwa penyakit-penyakit
tertentu berfungsi sebagai metafor, dalam pengertian wacana seputar
penyakit bukan sekedar pembahasan seputar hal medis namun disertai
pemaknaan kultural, Katrin menyatakan bahwa dalam Hal mensikapi HIV
& AIDS, sejak ditemukan pada tahun 1981, cenderung dikaitkan dengan
persoalan moralitas.
“HIV & AIDS dikatakan sebagai virus yang menular antara lain
lewat hubungan seks, HIV secara langsung dihubungkan dengan perzinahan,
pelacuran dan praktek seks yang menyimpang,” jelas Katrin.
Presentasi temuan sementara hasil penelitian disampaikan dalam sarasehan tentang AIDS, Moralitas dan Realitas Kehidupan,
diselenggarakan oleh ANJANI, Pusat Studi Perempuan, Media dan Seni
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, bertempat di Pendopo LKIS.
Acara yang berlangsung pada tanggal 14 April 2012, menghadirkan pula
Direktur Eksekutif INTERNA, Indonesian Interfaith Network on HIV &
AIDS, Jakarta, Ahmad Shams Madyan dan Koordinator Eksekutif Yayasan
Sekretariat Anak Merdeka Indonesia (SAMIN), Odi Shalahuddin.
“Jadi, ketika seseorang menyatakan “si A kena AIDS” tidak jarang
diucapkan bukan untuk memberikan informasi, melainkan membawa pesan
metaforis: “Si A Kena AIDS” sama dengan “Si A tidak bermoral”
Konsep lain yang digunakan oleh Katrin mengacu kepada konsep Moral Panic yang diperkenalkan oleh Sosiolog Inggris, Stanley Cohen. “Ciri khas moral panic
adalah bahwa sering terjadi streotipisasi dan penghakiman moral
terhadap kelompok masyarakat tertentu, serta informasi yang melenceng
dari faktanya, atau dilebih-lebihkan,”
Situasi di Indonesia, menurut Katrin ada persoalan bahwa media massa
sering mengkaitkan HIV & AIDS dengan kelompok masyarakat tertentu
terutama Pekerja Seks, kriminal dan Pengguna narkotika dengan suntikan.
Retorika angka dengan memunculkan angka-angka orang yang terinfeksi HIV
atau ODHA, sering disikapi berlebihan, dan membuat
perbandingan-perbandingan dengan wilayah lain untuk menunjukkan
stigmatisasi, bukan melihat sbagai persoalan bersama. Kampanye mengenai
HIV & AIDS juga masih terbatas pada ruang-ruang tertentu, belum
memaksimalkan ruang-ruang publik.
“Semoga wacana seputar HIV & AIDS dapat dikoreksi agar penolakan
emosional serta stigmatisasi yang menjadi penghalang penanggulangan HIV
& AIDS dapat semakin ditinggalkan,” harap Katrin mengakhiri
presentasinya.
Agama, Saatnya Bicara Lebih Dari Sekedar Moral
Ahmad
Syam Madyan, kandidat Doktor yang tengah menyusun disertasinya mengenai
HIV & AIDS dalam hubungannya dengan agama, yang sudah menulis dan
menerbitkan buku berjudul AIDS dalam Islam (Mizan, 2009), menyoroti
sikap lembaga-lembaga keagamaan yang lebih menyoroti Orang Dengan HIV
AIDS (ODHA) sebagai sosok yang tengah mendapatkan hukuman dari Tuhan.
“Salah satu Fatwa MUI bagi ODHA adalah agar mereka segera bertaubat
dari perbuatan dosa. Kumpulan khotbah Jum’at yang diterbitkan PP
MUhammadiyah yang berjudul Menghindari AIDS juga banyak menarasikan
adzab (siksa) Tuhan. Respon NU tak jauh beda. Kompilasi hasil Muktamar
Nasional (MUNAS) dan Bahtsul Masa’il yang terus menerus dicetak ulang
dan didistribusikan ke masyarakat awam bahkan menganalogikan ODHA sama
dengan orang yang berpenyakit Lepra,” demikian dicontohkan oleh Madyan.
Madyan mengakui bahwa di satu sisi peran agama dengan pendekatan
moralnya telah turut berperan dalam menghambat penyebaran HIV hingga
saat ini. Namun tanpa disadari, dakwah-dakwah moral kaitannya dengan
AIDS seringkali justru mengajari masyarakat untuk memiliki
penghakiman-penghakiman tertentu terhadap ODHA.
“Pertanyaan-pertanyaan teologis yang harus dijawab adalah: bagaimana
dengan orang-orang bermoral dan tak berdosa yang terinfeksi HIV? Apakah
relevansi mereka dengan penyakit ini? Bagaimana agama harus menjelaskan
secara moral bahwa 90% wanita yang terinfeksi HIV adalah wanita
“baik-baik” yang tidak pernah berzinah, bahkan tidak berhubungan seks
kecuali dengan suami-suami mereka yang sah? Bagaimana juga agama harus
menjelaskan AIDS sebagai hukuman Tuhan atas 199 kasus bayi di Indonesia
yang terlahir dalam keadaan positif HIV? Apakah urusan teologis menjadi
beres, ketika agama hanya menjawab permasalahan wanita dan bayi-bayi tak
berdosa ini dengan dakwah anti zina, anti maksuat atau bahkan dengan
menyerukan taubat sekalipun?” berbagai pertanyaan kritis dilontarkan
oleh Madyan.
Madyan mengingatkan bahwa peran agama untuk menghilangkan
stigmatisasi terhadap ODHA sangat dibutuhkan. “Dalam pembicaraan AIDS
dan agama, pesan-pesan moral memang akan tetap menjadi prioritas dan
keniscayaan, namun agamawan perlu menyadari dan mulai memikirkan bahwa
dakwah saja tidak akan mampu menjawab AIDS dengan segala isu
kemanusiaannya. Agama akan terkesan lebih bijak jika disamping dakwah
moral, juga mendakwahkan misi-misi kemanusiaan, kritik social dan
pandangan-pandangan tentang keadilanserta keberpihakan yang penuh empati
terhadap orang-orang yang termaginalkan. Jika mampu demikian, maka
slogan agama sebagai pembawa rahmat dan keteduhan bagi semesta akan
benar-benar bisa dirasakan,” harap Madyan.
Anak-anak juga Terancam
`Pada Januari 2006, UNAID bekerjasama dengan WHO memperkirakan bahwa
AIDS telah menyebabkan kematian lebih dari 25 juta orang sejak pertama
kali diakui pada tanggal 5 Juni 1981. Dengan demikian penyakit ini
merupakan salah satu wabah yang paling mematikan dalam sejarah. Pada
tahun 2005, AIDS diklaim telah menyebabkan kematian sebanyak 2,4 hingga
3,3 juta jiwa dan lebih dari 570,000 jiwa diantaranya adalah anak-anak.
Terkait dengan masalah anak-anak, Odi Shalahuddin yang banyak
menggeluti masalah hak-hak anak, dan menaruh perhatian pada prostitusi
anak menyatakan bahwa beberapa penelitian yang dilakukannya seperti di
Semarang (2007), lima kota di Jawa Tengah (2009) dan empat propinsi di
Indoeesia (2010) mengenai situasi anak-anak yang dilacurkan, diperoleh
informasi mengenai adanya perubahan pola dan modus praktik prostitusi.
“Hal yang berkembang sekarang adalah anak atau orang yang tidak
memiliki hubungan dengan mucikari ataupun perantara, tapi langsung
berhubungan dengan konsumen melalui komunikasi langsung. Ini
dimungkinkan ketika fasilitas komunikasi bukan menjadi barang mahal
lagi, seperti HP dan kemudahan akses internet ke berbagai jejaring
sosial,” katanya.
Menurutnya, jumlah orang-orang yang terlibat menjadi sulit untuk
dideteksi. Sedangkan jumlahnya berdasarkan pengamatan dan hasil
penelitian yang dilakukan, semakin terus meningkat. “Semoga saja kelak
kita tidak dikejutkan secara tiba-tiba dengan kemunculan jumlah yang
besar dari orang-orang yang terinfeksi HIV & AIDS” harapnya.
Mengenai kampanye tentang HIV & AIDS harus terus dilakukan,
jangan sampai berhenti. Hal ini mengingat orang-orang mudah dilupakan
dengan hadirnya berbagai peristiwa yang silih berganti tentang berbagai
persoalan di berbagai media. “Jadi memang, harus terus menerus dilakukan
dan berhadapan dengan berbagai informasi lainnya yang juga berusaha
merebut perhatian kita semua,”
Beberapa Pengalaman Lapangan
Presentasi yang disampaikan, menjadi pijakan bagi diskusi yang
berlangsung hangat, walau sayang harus dibatasi oleh waktu. Beberapa
peserta menyampaikan pengalaman-pengalamannya yang sangat menarik dan
bisa dipetik pelajaran darinya.
Kaswanto dari KPA kota Yogyakarta, misalnya mengakui bahwa
sosialisasi masalah HIV dan AIDS masih kurang dilakukan, dan perlu
dilakukan oleh berbagai komponen. Ia menyatakan, tercatat 485 orang yang
sudah terpapar HIV di kota Yogyakarta, dimana 60% adalah laki-laki.
“Tapi yang kurang menjadi perhatian dari masyarakat ketika dilakukan
test di salah satu tempat prostitusi yang menjangkau 285 PSK, hanya ada
tiga orang yang terpapar HIV. Kalau yang terinfeksi IMS, memang
jumlahnya banyak. Nah, justru yang terpapar HIV lebih banyak dari
kalangan professional atau pekerja.
Informasi menarik lainnya diungkapkan oleh Karti, dari Koalisi
Perempuan Indonesia yang juga aktif melakukan sosialisasi tentang IMS
dan HIV AIDS di berbagai Balai Perempuan. “Pada satu desa, ada seorang
Ibu Rumah Tangga yang sangat shock mengetahui dirinya terinfeksi, sedang
ia sendiri hanya berhubungan dengan suami. Ibu ini merasa sangat
berdosa sekali, walau kemungkinan yang terjadi ia tertulari oleh
suaminya sendiri,” kata Karti.
Kita semua tentu berharap penyebaran HIV & AIDS dapat
diminimalisir sekecil mungkin. Namun menarik untuk turut melontarkan
pertanyaan, sebagaimana yang tertulis pada banner acara:
Seringkali orang menyebut AIDS sebagai penyakit mereka-mereka yang
tidak bermoral. Tapi benarkah demikian? Karena kurangnya bermoralkah
orang terinfeksi? Ataukah ada realitas-realitas lain yang menjadi
penyebabnya?
0 komentar:
Posting Komentar
Anda boleh Kopi Paste. asal sertakan link back ke blog ini Makasih
ANDA WAJIB KOMENTAR :D !!
jika anda Tidak Punya Akun Apapun,, Anda Bisa Menggunakan ANONYMOUS